Membicarakan pendidikan, asumsi awal yang timbul dalam benak pikiran kita adalah sebuah institusi formal yang dibatasi oleh bangunan, pengajar, siswa, uang, waktu belajar, izin kegiatan, pemerintah, dan aturan sebagainya. Asusmsi ini tentu tidak semata-...mata tumbuh dalam benak kita, tetapi merupakan sebuah implikasi dari sebuah sistem yang telah lama diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak
sebatas itu, sistem inipun membuahkan asumsi diskriminatif atas pendidikan informal dan non formal, sehingga kedua model pendidikan tersebut acapkali dicap sebagai intitusi sekunder dan bahkan dipandang
sebelah mata oleh masyarakat umumnya.
Pada dasarnya, pendidikan tidak saja terbatas pada institusi formal
yang dibekingi pemerintah, atau informal dan non formal yang kesemuanya
mengandung rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu. Sehingga, substansi
pendidikan yang diharapkan, yaitu memanusiakan manusia, tidak dibatasi
ruang, waktu, dan aturan sempit lainnya, yang kadang malah menjadikan
pendidikan milik kelompok manusia tertentu dan menjadi barang haram
bagi kalangan lainnya. Tetapi, setiap gerakan dan hirupan nafas manusia
merupakan proses pendidikan dalam kehidupannya. Maka tidaklah asing
kalau kita mendengar satu falsafah hidup yang berbunyi “long life
education”.
Pendidikan -secara makna kata- merupakan kewajiban individu
masing-masing manusia, sebagai usaha untuk menjadikan dirinya menjadi
manusia yang berjiwa paripurna; berpengetahuan, kreatif, dan beretika
dalam kehidupannya. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah ikut serta
dalam program pendidikan yang dicanangkan oleh negara, yaitu pendidikan
formal. Dan tentunya tak menutup pintu masuk pada usaha-usaha
pendidikan lain non negara yang bisa diikuti.
Pendidikan yang diselengarakan negara merupakan bukti tanggung jawab
pemerintah atas kehidupan rakyatnya, sekaligus bentuk realisasi
kewajiban dalam memperdayakan rakyat menuju masyarakat ideal. Lebih
lagi usaha pencerdasan bangsa sudah dilegitimasi dan menjadi dogma
wajib tertulis dalam pembukaan dan isi UUD ’45 yang merupakan juklak
kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Nusantara.
Pendidikan model pemerintah yang ditawarkan kepada rakyat melalui
lembaga-lembaga pendidikan, sudah memberikan konstribusi banyak
terhadap bangsa, mulai dari jenjang paling bawah sampai paling tinggi.
Lebih dari itu, pengakuan pemerintah terhadap institusi-institusi
tersebut sekaligus memberikan legitimasi kuat atas keberadaannya, baik
di tingkat nasioanal maupun internasional. Anggaran pendidikan pun
menjadi fokus utama usaha pemerintah dalam penataan anggaran belanja
negara, kwalitas guru ditingkatkan, dan dilakukannya
pembenahan-pembenahan lain agar pendidikan di Indonesia semakin menjadi
idel dan membuahkan hasil yang diharapkan.
Tetapi, usaha pemerintah ini tak luput dari berbagai permasalahan.
Mulai dari adanya pemisahan payung departemen antara sekolah umum dan
madrasah, sistem kelulusan dan penerimaan siswa yang diskriminatif,
anggaran pendidikan yang tak jelas alirannya, bantuan yang pilih kasih,
kurikulum yang amburadul, sampai masalah komersialisasi pendidikan yang
sangat merugikan kaum tak mampu, serta agenda sekularisasi sistem
pendidikan nasional, dan masalah-masalah lainnya yang belum tercium dan
dirasakan kurang berpihak kepada objek atas usaha mulia ini.
Sekularisasi Pendidikan; Biang Kebobrokan Bangsa?
Secara singkat, sekularisai adalah pemisahan antara agama dan sistem
negara. Bukan pemisahan antara agama dengan individu atau dunia dan
akhirat, seperti yang menjadi aggapan banyak orang. Jadi, karena negara
merupakan pelaksana atas semua urusan yang bersifat umum atau
kemaslahatan bersama, maka pendidikan yang diselenggarakan pun akan
terimbasi atas semua kebijakan negara yang menganut paham sekular.
Sekularisasi pendidikan sebenarnya bukan gosip baru di Indonesia,
walau pada hakikatnya Indonesia bukanlah negara yang sepenuhnya
menganut paham sekular. Ini bisa tercium dari adanya pemisahan model
pendidikan formal yang diadakan pemerintah, yaitu madrasah dan sekolah.
Madrasah didrop sebagai gudang mata pelajaran yang berbasis keagamaan,
walau pada kenyataannya hanya satu agama saja, dan masih juga dibumbui
mata pelajaran umum. Sedangkan sekolah dititik beratkan kepada mata
pelajaran yang bersifat science serta pengetahuan umum, dan sedikit
dihiasi oleh pelajaran yang berbau agama.
Walau kedua model pendidikan formal ini masih mengandung kedua
unsur, tetapi salah satu dari unsur tersebut hanya dijadikan pemanis
saja, sepertinya hal itu dilakukan agar pemerintah tak dituding sebagai
agen perusak moral atau peng-katro-an rakyat. Sehingga yang terjadi
adalah para peserta didik tidak mendapatkan porsi sepenuhnya, malah
mengambang dan setengah-setengah. Yang di sekolah, pengetahuan lewat,
moral bejat. Dan yang di madrasah, moral tipis, pengetahuan habis
terkikis.
Karena sistem yang memberikan porsi setengah-setengah, dan anggapan
masyarakat umum (khususnya kalangan agamis) bahwa sistem pendidikan
Indonesia berlandaskan pada paham sekular, maka pendidikan di Indonesia
sering dianggap sebagai biang kerok atas kemerosotan etika dan
lambannya penguasaan pengetahuan di masyarakat Indonesia.
Tapi apakah kemerosotan etika dan tersendatnya penguasaan ilmu
pengetahun masyarakat Indonesia ini memang disebabkan atas sistem
kesalahan pendidikan yang diterapkan pemerintah? Ataukah masyarakat
sendiri yang kurang peduli atas kultur budaya bangsa yang sangat erat
berkaitan dengan kehidupannya? Kenapa masyarakat sebegitu pasrah dalam
memandang pendidikan dan bertawakkal hanya pada keformalitasan belaka?
Melihat bahwa pendidikan-pendidikan formal hanyalah terlaksana dalam
hitungan jam dan tahun saja, dan juga lingkungan pendidikan tidaklah
hanya yang formal saja, seperti yang telah sedikit disinggung diatas.
Kultur Bangsa, Siapa Peduli?
Pertama sekali yang harus dilakukan adalah merubah anggapan tentang
adanya pemisahan agama atas berbagai bidang keilmuan. Selaras dengan
pandangan salah satu dosen di Kuliyyah Dakwah Islamiyah Tripoli Libya
DR. Abdul ‘Athi, yang mengatakan bahwa agama yang tidak mengakui atau
membeda-bedakan ilmu pengetahuan tidaklah patut dinamakan agama, karena
agama yang sejati adalah yang mengakui berbagai bidang keilmuan. Karena
dasar inilah tak pantas jika ada perbedaan antara ilmu agama dan non
agama. Memang hal ini sudah terjadi dan merasuk dalam pikiran bangsa
Indonesia, seolah-olah kedua bidang ilmu tersebut bertentangan, dan
harus dibedakan, yang satu bernilai tinggi, dan yang satu berada
dibawahnya. Jadi secara fair, seharusnya tak ada anggapan pengkotakan
atas lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada, sehingga tidak muncul
cemoohan pada ilmu pengetahuan atau skeptis memasuki ranah keagamaan.
Dengan sangat minimnya mata pelajaran keagamaan yang didapatkan
siswa pada lembaga-lembaga pendidikan, banyak kalangan menilai
kemerosotan moral yang sekarang menjadi masalah bersama bangsa dan
menimpa semua kalangan, mulai dari atas sampai bawah, merupakan
kesalahan pemerintah pada sistem pendidikannya. Asumsi ini sebenarnya
kurang tepat, karena lembaga-lembaga formal merupakan usaha yang
dibatasi, baik orangnya, waktu, dan tempat, sehingga usaha yang super
agung yang menyangkut pendidikan moral tidaklah seharusnya hanya
dibebankan pada lembaga formal belaka. Semestinya pendidikan non formal
juga harus dirasakan banyak berperan, khususnya oleh siswas sendiri,
mengapa? Karena sebagian besar hidupnya bukanlah di lingkungan formal
tersebut, melaikan di dunia yang non formal, yang banyak mempengaruhi
perkembangan hidupnya.
Disamping itu, jiwa manusia (pelajar) yang tak berpandangan seadanya
dan secukupnya atas yang ia dapatkan merupakan satu faktor pendorong
dalam merealisasikan manusia-manusia yang berintegritas tinggi, baik
pada keluarga, bangsa dan agama, alih-alih ikut sertanya dalam proses
pendidikan hanya dimaksudkan untuk mendapatkan angka-angka saja. Hal
itu akan terwujud jika pelajar-pelajar tidak hanya berpangku tangan
atas apa yang ia dapatkan di bangku-bangku formal, dan melupakan
tikar-tikar non formal yang banyak diselenggarakan oleh masyarakat umum
dan lembaga non pemerintah untuk mengajarkan hal-hal yang berkaitan
dengan individu masing-masing, dan pengetahuan agama salah satunya. Dan
ini bisa jadi akan lebih ampuh dalam usaha mencetak bangsa yang tumbuh
dalam naungan IPTEK dan IMTAQ.
Di agama Islam yang berkembang di Nusantara, pendidikan semacam ini
akan sangat jelas terlihat pada lembaga non formal yang semenjak dahulu
hanya diperhatikan sebelah mata oleh pemerintah, yaitu pesantren.
Pesantren pada zaman dahulu sering diatkut-takuti oleh nilai rendahnya
pendidikan umum di mata agama, sehingga lulusan-lulusan pesantren yang
bermutu, malah menjadi mati kutu saat berhadapan dengan tantangan
zaman. Karena yang ia dapatkan di lembaga tersebut tidaklah cukup untuk
menjawab pesatnya laju kehidupan. Sekarang pesantren sudah sedikit
terbuka atas masalah kekinian, dan dengan cepat mengejar
ketertinggalan, hal ini dibuktikan dengan berdirinya
pendidikan-pendidikan formal yang dinaungi pemerintahan di dalam
lingkungan pesantren-pesantren.
Tetapi, ada sedikit kesalahan yang dilakukan oleh kalangan
pesantren, yaitu dengan malah dibukanya madrasah-madrasah yang
kurikulumnya memiliki banyak kesamaan dengan yang diajarkan di
pesantren sendiri. Menurut Muhibin A.M., Peneliti pada FKiY Yoyakarta,
dan santri Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta, “Pesantren
seharusnya melakukan perubahan yang signifikan, yaitu dengan dibukanya
pendidikan formal yang hanya mengajarkan kurikulum yang bersifat umum
dan pengembangan keterampilan. Sementara, pendidikan agama hanya cukup
diberikan kiai sebagai pendalaman terhadap pengetahuan agama para
santrinya.” Beliau melanjutkan, bahwa usaha seperti ini akan menjadikan
keseimbangan dan keserasian antara model kedua pendidikan yang sekarang
masih dianut oleh pemerintah dan yang sering dituding meresahkan bangsa
karena mengesampingkan aspek pendidikan moral yang sangat dianjurkan
agama.
Dengan adanya akulturasi budaya yang turun temurun dan penerimaan
nilai-nilai kekinian yang lebih maslahat dan sejalan dengan
perkembangan zaman, usaha semacam ini tentu sangat revolusioner dan
patut didukung semua pihak, karena sangat berperan penting pada
keberlangsungan identitas dan perkembangan bangsa yang harus tetap
melestarikan warisan budayanya dan tidak melupakan perkembangan zaman
yang merupakan keniscayaan kehidupan. Tetapi, siapakah yang peduli atas
budaya yang sering dituduh kolot dan tak modernis, diperparah
manusia-manusianya yang lebih berbangga dengan tempelan-tempelan luar
yang kasat mata dan narsis? Ditambah pandangan hidupnya yang
materialistis?.
Pendidikan bermutu bukanlah yang mencetak segudang prestasi, atau
yang mengeluarkan banyak biaya karena gengsi, atau yang menjajikan
lapangan profesi setelah kelulusan. Melainkan pendidikan yang berusaha
melahirkan manusia-manusia yang siap menghadapi realitas kehidupan di
sekitanya, yang menitikberatkan perkembangan tiga aspek yang menjadi
inti perhatian diadakannya pendidikan, yaitu: kognitif, yang
memfokuskan pada penguasaan ilmu pengetahuan, psikomotor, pada sisi
keterampilan, dan afektif, berperan pada penanaman etika dan moral.
Usah yang mulia ini tidak akan berjalan lancar kalau hanya
dibebankan kepada lembaga-lembaga pemerintah belaka, tetapi harus ada
kontribusi dari unsur non pemerintah yang lebih banyak mengambil porsi
pendidikan kehidupan manusia (pelajar). Unsur non pemerintah tersebut
adalah keluarga, lembaga non pemerintah, dan masyarakat. Jadi,
pendidikan ideal yang mengandung arti luas dan yang sangat mendukung
munculnya manusia-manusia paripurna adalah pendidikan integral yang
melibatkan tiga unsur pelaksana, yaitu: keluarga, lembaga formal, dan
masyarakat (non formal), dengan tidak melupakan kultur bangsa dan
merespon pergerakan zaman.
0 komentar:
Posting Komentar